Si Pipit dan Monyet di Tengah Telaga | Liang Solusi
Beranda Cerpen Informasi Soal Online Kelas VI Soal Online Kelas V Soal Online Kelas IV Soal PH Soal PTS Soal PAS Soal Matematika Soal Literasi Soal Numerasi Soal US Artikel Perangkat KBM Materi Kelas VI Materi Kelas V Materi Kelas IV Motivasi Solusi Profile Contact

Sabtu, 08 Mei 2021

Si Pipit dan Monyet di Tengah Telaga

"Selama masih ada orang yang ikhlas membantu orang lain, selama itu juga masih ada harapan untuk dunia yang lebih damai"

Terkadang kamu akan menemui banyak masalah, marah, kecewa, beda pendapat, dendam, iri hati, dan masih banyak lagi lainnya. Namun semua masalah itu jangan sampai membuat hubunganmu renggang.

Sewajarnya manusia akan hidup mulai dari kecil, remaja, dewasa, hingga tua. Di dalam perjalanan hidup pastinya kamu akan bertemu banyak orang baru. 

Dari pertemuan itu kamu akan melalui banyak pengalaman dan bermacam-macam kisah.

Saling tolong menolong bisa menjadi renungan untuk membantu sesama. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat hidup sendiri.

Hal itu berarti manusia saling membutuhkan satu sama lain. Manusia secara tidak langsung juga mempunyai hubungan timbal balik dengan manusia lainnya.

 Berikut disajikan cerita fiksi insfirasi yang dapat disimak dan kalian petik amanatnya. Selamat membaca!

Cerita fiksi si pipit dan monyet
literasi anak
Si Pipit dan Monyet di Tengah Telaga

Di tengah hutan yang lebat, semua binatang hidup dengan rukun di sana. Pipit burung yang ceria dan pintar. Ia dan kawanannya tinggal di sebuah pohon besar dan tinggi di tengah hutan. Pohon tersebut selalu berbuah, Buahnya sangat banyak sehingga binatang lain sering mencari makan di bawah pohon itu.

“Hai Pipit, kamu mau kemana?” teriak seekor gajah ketika melihat Pipit terbang melintas diatasnya.

“Selamat pagi Gajah, aku mau pergi ke danau biru,” jawab Pipit sambil mengepakan sayapnya dan mulai bertengger di sebuah ranting pohon.

“Bukankah telaga biru itu letaknya sangat jauh, untuk apa kau ke sana?” tanya Gajah yang penasaran dengan telaga biru.

“Kata teman-temanku airnya sangat jernih dan banyak buah-buahan disekitarnya”, sahut Pipit

“Untuk apa kau mencari buah lagi, bukankan di pohon tempatmu tinggal sudah ada banyak buah?” semakin penasaran dengan telaga biru.

“Ooh… aku cuma penasaran dengan rasa buah di sana, kata teman-temanku di pohon sekitar telaga ada beberapa pohon mangga yang buahnya sangat manis,” sahut pipit. “kau mau ikut denganku?” ajak pipit.

“Wah tentu saja, aku juga mau merasakan manisnya buah di tepi telaga biru”, sahut Gajah yang tampak gembira mendengar ajakan Pipit.

Begitulah mereka setiap harinya, mereka pergi ke telaga biru untuk bermain. Pipit dan Gajah tidak tamak, mereka mengambil buah secukupnya dan sebagian mereka bagikan untuk teman-temannya. Pipit dan Gajah memang bersahabat, mereka selalu pergi bersama, bermain bersama dan mencari makan bersama. Mereka hidup rukun bersama hewan – hewan lain di tengah hutan tersebut. Mereka saling berbagi. Kehidupan hewan di hutan belantara tersebut sangat harmonis, hingga sebuah petaka datang.

Musim kemarau panjang, menyebabkan pohon-pohon kering. Banyak tumbuhan yang mati. Hewan-hewan mulai kesusahan mencari makan. Sungai mulai mengering. Bahkan pohon tempat Pipit dan kawanannya tinggal pun, tidak berbuah dan mulai merangas. Sudah lebih dari setahun, hujan tiada kunjung turun. Pipit dan hewan lainnya ketakutan.

“Jika kemarau ini terus berlanjut, maka aku dan teman-teman akan mati kelaparan dan kehausan. Aku harus mencari akal agar kami bisa bertahan hidup. Aku harus menyelamatkan teman-temanku” pikirnya dalam hati sambil terbang mengelilingi hutan yang mulai tandus.

Saat ia mengepakkan sayapnya, tampa ia sadari Pipit tengah terbang di atas telaga biru, tempat ia dan gajah sering bermain. Alahkah terkejutnya Pipit ketika ia melihat telaga tersebut masih penuh dengan air, dan pohon mangga tampak berbuah.

“Heee… ada apa ini? Di hutan yang seluas ini, sejauh mataku memandang semua sudah tampak kering dan tandus. Ajaib hanya telaga ini yang tidak mengering, airnya pun jernih, masih biru seperti semula saat aku dan gajah bermain ke sini,” pikir Pipit di dalam hatinya.

Pipit pun turun mendekati telaga tersebut, dan bertengger di dahan pohon mangga yang tumbuh disekitar telaga. “Pohon ini, pohon mangga yang buahnya semanis madu. Pohon ini masih hidup dan berbuah lebat, saat kemarau panjang ini” Pipit tertawa bahagia saat melihat buah mangga yang begitu lebat.

Ia sangat taqjub dengan kebesaran Tuhan. Di tengah bencana kemarau yang besar ini, Tuhan masih memberkati ciptaannya dengan memerikan telaga ajaib ini.

Pipit melepas dahaganya dengan meminum air telaga, dan memakan buah mangga sampai ia kenyang. Saat sedang istirahat, pipit menemukan ide untuk menyelamatkan teman–temannya.

Lalu ia pergi mencari sahabatnya Gajah. Pipit menceritakan idenya. “Gajah, kalau kita tetap bertahan di hutan ini maka kita dan teman-teman akan mati kelaparan. Kita harus melakukan sesuatu!” tegas Pipit mengutaran idenya.

“Tapi apa yang akan kita lakukan Pit, lihatlah pohon-pohon mulai mati, tanah semakin tandus, dan sungai sudah mongering. Kalau hujan tak kunjung turun, maka tamatlah kita,” ucap Gajah sedih.

“Kau jangan putus harapan gajah, aku punya ide”, kata Pipit sambil bertengger di belalai Gajah yang panjang.

“Apa idemu?” tanya Gajah sambil membelalakan matanya, sambil tersenyum penuh harapan.

“Kau masih ingat dengan telaga biru?” tanya Pipit pada Gajah yang nampak mengingat–ingat tentang telaga biru.

“Ooh iya, sudah lama semenjak musim kemarau kita tidak pernah lagi bermain ke telaga biru. Mungkin sekarang telaga itu sudah mengering dan pohon mangga yang tumbuh di sekitarnya sudah mati”

“Itu tidak benar Gajah. Telaga itu masih penuh dengan air. Pohon mangga yang tumbuh disekitarnya pun, saat ini sedang berbuah lebat”, kata Pipit dengan penuh percaya diri.

Mendengar berita tersebut, gajah melompat–lompat kegirangan. “Benarkah yang kau katakan pipit?, kau tidak berbohong kan?” tanya Gajah yang masih belum percaya dengan perkataan Pipit.

“Tentu saja tidak Gajah”. Tegas temanku.

“Aneh, kenapa air di telaga tersebut masih penuh ya?” tanya Gajah yang kebingungan

“Telaga tersebut adalah telaga ajaib, airnya tak akan pernah habis sampai kapan pun. Walaupun musim kemarau ini sangat lama, telaga tersebut tidak akan pernah mengering,” jawab Pipit dengan tegas. Untuk itulah aku kembali ke sini dan menemuimu. Kita dan semua binatang yang ada di sini, akan pergi dan tinggal di telaga tersebut.

“Gajah, bantulah aku!” Pinta Pipit

“Siap, temanku. Apa yang bisa aku bantu?” tanya Gajah yang semangat membantu temannya.

“Kumpulkan semua binatang yang ada di hutan ini, bersama-sama kita akan menuju ke telaga tersebut,” jawab Pipit.

Gajah pergi untuk mengumpulkan binatang lainnya. Sementara Gajah mengumpulkan teman – temannya, Pipit kembali terbang menuju telaga biru.

“Untuk apa kau mengumpulkan kami di sini, Gajah?” tanya kerbau

“Iya,, apa tujuanmu mengumpulkan kami di sini?” seekor Rusa kembali bertanya karena penasaran

“Teman-teman, sabarlah. Sebentar lagi Pipit datang membawa kabar baik untuk kita semua,” kata Gajah denga gembira.

“Kabar baik apa yang akan Pipit bawa untuk kami, lihatlah matahari bersinar sangat terik. Kami semua sudah kepanasan, tidak ada pohon untuk berteduh”, keluh seekor Rusa tua yang tampak lemah karena kehausan.

“Kabar baik teman-teman, aku telah menemukan telaga ajaib. Telaga tersebut berisi air, yang tak pernah habis walaupun kemarau panjang melanda. Aku dn gajah mengumpulkan kalian disini, agar kita bisa bersama-sama menuju ke telaga tersebut” jelas Pipit kepada teman–temannya.

Mendengar kabar tersebut teman–teman Pipit sangat senang. Mereka pun pergi menuju telaga biru bersama–sama. Sesampainya di sana, tiba–tiba monyet melompat ke sebuah batu besar yang ada di dekat pohon mangga. “Mulai saat ini, pohon mangga yang besar ini adalah milikku. Tidak boleh ada yang mencari ataupun memakan buah mangga milikku ini. Jika ada yang mengambil buah di pohon ini maka aku akan mencabik-cabik tubuhnya. Mulai saat kalian harus memanggil aku raja,” kata monyet yang sombong dan serakah itu.

Semua binatang merasa ketakutan, selama ini monyet itu memang dikenal sangat licik dan serakah. Pipit pun mencari akal untuk melawan monyet sombong itu. Pipit dan hewan lainnya membuat rencana. Mereka pura-pura menyetujui perintah si monyet.

“Baiklah Tuan, kami menyetujuinya. Tapi ada satu syarat yang harus kau penuhi, bahwa kau memang pantas dipanggil raja”, pinta Pipit dengan tegas.

“Apa syaratnya?” tanya monyet dengan sombong

“Kemarilah tuan, akan aku bisikan”, jawab Pipit dengan penuh keyakinan kalau rencananya akan berhasil.

Ketika Pipit membisikan syaratnya kepada monyet, tanpa monyet sadari pipit sudah menaruh beberapa kutu di tubuhnya. “Tuan jika tuan ingin di panggil raja, maka naiklah ke pohon mangga itu. Naiklah sampai ke puncak. Bila tuan sudah sampai di puncak, kami akan bersorak memanggilmu raja” bisik Pipit dengan percaya diri.

Monyet menerima syarat tersebut. Bergegas ia naik ke pohon mangga untuk menuju ke puncak. Ia sudah tidak sabar di panggil raja oleh teman–temannya. Ketika akan sampai di puncak, monyet merasa gatal–gatal di tubuhnya. Gatal-gatal itu disebabkan oleh kutu–kutu kerbau yang sengaja ditaruh oleh Pipit di tubuhnya. Ia mulai mengaruk–garuk tubuhnya, karena sibuk menggaruk tubuhnya monyet kehilangan keseimbangan. Monyet terjatuh dari puncak pohon. Monyet terjatuh ke telaga biru, dimana di tengah telaga tersebut terdapat sumur yang sangat dalam. Monyet yang sombong dan serakah tersebut tenggelam di sana.

Pipit dan teman–temanya pun bisa menikmati air telaga dan buah mangga dengan bebas, tampa rasa takut. Gajah yang heran dengan kecerdikan temannya, bertanya pada Pipit. “Pipit dari mana kamu tahu ada sumur yag dalam di tengah telaga ini?”

“Ketika kau mengumpulkan teman-teman sebelum menuju ke telaga ini, aku kembali untuk melihat situasi disini. Dari atas aku melihat ada pusaran air yang dalam di tengah telaga, itu menandakan ada sumur yang dalam di tengah telaga ini,” jawab Pipit.

“Selain baik kau memang cerdas Pipit, aku bangga memiliki teman sepertimu”, puji Gajah dengan bangga

“Itulah sebabnya aku memanfaatkan sumur di tengah telaga biru, untuk menghukum monyet yang serakah itu,” tambah Pipit

Akhirnya pipit dan teman–temannya hidup rukun, tanpa takut kekurangan makanan atau mati kehausan di musim kemarau yang panjang ini.

Cerita ini ditulis oleh: Ni Wayan Lina Sri Lestari

Temukan cerita inspiratif terbaik kami lainnya pada postingan berikut ini:
Cerita dengan judul "Si Pipit dan Monyet di Tengah Telaga" merupakan cerita fiksi yang tokoh dan jalan ceritanya merupakan khayalan semata. Cerita tersebut bertujuan agar menjadi cerminan moral dalam berperilaku sehari-hari di dunia nyata baik dalam berpikir, berkata, maupun berprilaku.

Jika kalian sudah membaca cerita fiksi tersebut, bagaimana karakter monyet sesuai cerita fiksi tersebut!

0 comments:

Posting Komentar